jump to navigation

PLTN Ramah Lingkungan tapi Berisiko Juli 19, 2007

Posted by EcoHeart in Bencana PLTN, Berita, PLTN.
add a comment

“Menangani lumpur Sidoarjo saja tak bisa, bagaimana mengelola reaktor nuklir?”

Jakarta — Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar menyatakan pembangkit listrik tenaga nuklir sangat ramah lingkungan, tapi risikonya sangat besar.

“Dalam prakteknya, PLTN tidak membuang emisi sama sekali. Namun, jika terjadi kerusakan atau kebocoran, hal itu baru bisa terselesaikan setelah 500 tahun,” kata dia menjawab pers di Hotel Atlet Century, Jakarta, kemarin.

Menurut Rachmat, budaya berperan penting dalam pembangunan proyek nuklir seperti di negara-negara maju. Di negara maju, kebersihan sangat dijaga, “Bahkan kamar mandi di PLTN lebih bersih daripada di rumah sakit.”

Namun, terlepas dari segala kontroversinya, Rachmat mengaku saat ini dia mengikuti kebijakan pemerintah tentang rencana membangun PLTN pada 2016 di kawasan Gunung Muria, Jawa Tengah. “Kementerian Lingkungan Hidup menjaga agar inisiatif itu tidak merusak lingkungan,” dia menambahkan.

Liek Wilarjo, guru besar fisika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dan Iwan Kurniawan, pakar fisika nuklir Indonesia, berpendapat nuklir bukan solusi terbaik untuk mengatasi krisis listrik di Indonesia. Kedua pakar itu menyarankan agar Indonesia mengeksplorasi energi terbarukan yang bersumber dari alam, bukan dari nuklir.

“Kita masih punya matahari, angin, arus laut, panas bumi, biomassa, mikrohidro, dan sebagainya, yang bisa (dimanfaatkan) untuk pembangkit listrik. Kenapa harus nuklir?” kata Liek dalam seminar Pro-Kontra Pembangunan PLTN di Semarang, Rabu lalu.

Sementara itu, menurut Iwan, yang pernah aktif di Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), menyatakan penguasaan teknologi yang masih rendah dan kultur serta budaya bangsa Indonesia yang korup dan kurang berdisiplin menjadikan PLTN sangat berbahaya. “Jika menangani lumpur Sidoarjo saja kita tidak bisa, bagaimana mengelola reaktor nuklir, yang rentan bocor?” ujarnya.

Sebagai ahli nuklir, ia mengaku tidak habis pikir kenapa pemerintah menjadikan PLTN sebagai solusi krisis listrik. Sebab, negara maju, seperti Amerika, Jerman, dan Jepang, saja sudah menghentikan pembangunan PLTN, “Kenapa Indonesia, yang kaya sumber daya alam, justru akan membangun PLTN?”

Namun, Ferhat Aziz dari Batan menyatakan tidak ada satu teknologi pun yang bebas dari risiko. Teknologi nuklir saat ini, kata dia, lebih ekonomis dan tingkat keselamatannya lebih tinggi. Karena itu, PLTN merupakan solusi krisis listrik lantaran murah dan terbarukan.

Guna mengatasi masalah pemanasan global yang mulai berdampak di beberapa wilayah Indonesia, kata Rachmat, diperlukan sumber energi alternatif dan bahan bakar jangka panjang. Sisa-sisa pembakaran, berupa karbon dioksida, harus dikurangi dengan mencari alternatif energi lain. Ia menyebut Australia saat ini sudah menggunakan tenaga ombak, Denmark memakai turbin angin, dan di beberapa negara maju ada yang menggunakan panas bumi serta matahari. “Indonesia memiliki potensi untuk memakai alternatif energi tersebut,” ujarnya. SORTA TOBING | Sohirin, korantempo, Jum’at, 22 Juni 2007.

http://www.korantempo.com/korantempo/2007/06/22/Nasional/krn,20070622,9.id.html.